Terpopuler

Minggu, 30 April 2017

Blangkon Ngayogyakarta Versus Blangkon Surakarta



Pada kesempatan kali ini, akan membahas tentang blangkon  Ngayogyakarta versus Blangkon Surakarta. setelah kerajaan Mataram Islam pecah menjadi dua Kerajaan yaitu Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat ada perbedaan antara blangkon  yang digunakan.

Blangkon adalah tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaiana tradisional. Sebutan Blangkon berasal dari kata blangko, istilah yang dipakai masyarakat Jawa untuk mengatakan sesuatu yang siap pakai. Blangkon sebenarnya bentuk praktis dari iket yang merupakan tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional jawa. Untuk beberapa tipe blangkon ada yang menggunakan tonjolan pada bagian belakang blangkon yang disebut mondholan. Mondholan ini menandakan model rambut pria masa itu yang sering mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon. Lilitan rambut itu harus kencang supaya tidak mudah lepas.
Khusus untuk Yogyakarta, blangkon kejawen dibedakan menjadi gaya utara dan selatan. Sementara dari bentuknya terdiri dari jebehan, cepet, waton, dan kuncungan. Perbedaan inilah yang kemudian melahirkan motif-motif blangkon, seperti adimuncung, tumpangsari, kuncungan, jeplakan, tempen, solomuda, pletrekan, solobangkalan, prebawan, tutup liwet, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk daerah Surakarta muncul beberapa jenis blangkon lagi, yaitu wironan atau mataraman, iket krepyak dan trepes.

Yogyakarta dan Surakarta yang sama-sama sebagai bagian dari Kerajaan Mataram pun memilik bentuk blangkon yang berbeda. Perbedaan mencolok dan yang paling mudah dikenali adalah pada bagian belakang blangkon. Blangkon gaya Yogyakarta memiliki mondholan, sedangkan blangkon Solo tanpa mondholan atau terlihat rata.

Mondholan di Yogyakarta ini muncul, karena ketika itu (masa pemerintahan Panembahan Senopati, seusai runtuhnya Kerajaan Pajang), para lelaki mempunyai kebiasaan memelihara rambut panjang, yang kemudian diikat dan digelung ke belakang. Dari bentuk mondholan ini lahirlah filosofi di mana orang Jawa pandai menyimpan rahasia, tidak suka membuka aib orang lain atau diri sendiri. Dalam berkata-kata dan perilaku, orang Jawa juga penuh dengan kiasan dan bahasa halus, sehingga menjadikan mereka selalu berhati-hati tetapi bukan berarti berbasa-basi, akan tetapi sebagai bukti keluhuran budi pekerti orang Jawa.

“Orang Jawa itu pandai menyimpan rahasia dan menutupi aib. Mereka akan berusaha tersenyum meskipun hatinya menangis. ItuIni bukan sikap munafik, melainkan keinginan untuk selalu berbuat baik untuk orang lain.
Sedangkan untuk blangkon Surakarta yang trepes atau rata pada bagian belakang, karena para lelaki pada masa itu (Pemerintahan Belanda) sudah mengenal potong rambut dan jas (beskap) karena pengaruh Belanda. Model trepes ini merupakan modifikasi dari gaya Yogyakarta yang muncul karena kebanyakan pria sudah mulai berambut pendek. Blangkon trepes dibuat dengan cara menjahit langsung mondholan pada bagian belakang blangkon.

“Tidak ada mondholan pada blangkon Surakarta. Yang hanya pertemuan dua pucuk helai di kanan dan kirinya yang kemudian diikatkan di belakang. Ini simbol menyatukan dua kalimat syahadat yang harus terus melekat dalam pikiran orang Jawa.

Secara umum, penempatan blangkon di kepala secara mengandung anjuran agar segala pemikiran yang dihasilkan dari kepala selalu membawa nilai-nilai keislaman. Sebebas apa pun pemikiran yang ada, agama Islam harus selalu menjadi pijakan.

Blangkon juga sebagai simbol pertemuan antara jagad alit (mikrokosmos) dengan jagad gede (makrokosmos). Blangkon merupakan isyarat jagad gede karena nilai-nilai transendentalnya. Sedangkan kepala yang ditumpanginya merupakan isyarat jagad alit. Ini terkait dengan tugas manusia sebagai khalifatullah fi al-ardi yang membutuhkan kekuatan Tuhan. Karena itu, agar manusia mampu melaksanakan tugasnya dibutuhkan kekuatan Tuhan yang disimbolkan dengan blangkon.

Pada zaman dulu, blangkon hanya boleh dibuat oleh para seniman keraton dengan pakem (aturan) yang baku. Seperti halnya keris dan batik. Semakin blangkon yang dibuat memenuhi pakem, maka blangkon itu akan semakin tinggi nilainya.

Dalam blangkon itu terksimpan nilai-nilai kehidupan sehari-hari seperti keindahan, ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tentang keindahan, kesabaran, dan ketelitian itu,  sebuah blangkon yang bagus bias memiliki 14 hingga 17 wiru (lipatan) yang rapi di kanan-kiri. Tanpa kesabaran dan ketelitian yang besar, sangat mustahil blangkon tersebut bis diselesaikan. Keindahan blangkon juga bias dilihat dari kain batik selebar 105cm x 105cm sebagai bahan dasar blangkon.

Blangkon yang bagus, tentu bahan dasarnya juga harus bagus. Salah satunya kain yang dibatik tulis, bukan batik cap apalagi printing. Jangan heran jika harga satu  blangkon  harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Jika memiliki nilai sejarah, harganya bias lebih mahal lagi. Seperti halnya keris dan batik, semakin indah dan bersejarahnya blangkon akan membuat harganya semakin mahal




Referensi :
https://id.wikipedia.org/wiki/Blangkon 
http://kesolo.com/blangkon-simbol-pertemuan-jagad-cilik-dan-gede/ 


1 komentar: