Jogja bukanlah sebuah kota
semata, tapi ia adalah kota yang penuh makna. Kita bisa mendapati makna
tersembunyi, filosofis, dari berbagai hal di Jogja. Mulai dari baju, pohon yang ditanam di pinggir jalan, bangunan keraton hingga tata ruangnya.
Jogja; adalah kota yang penuh makna.
Makna filosofis yang berlandaskan pada kearifan lokal dan nilai-nilai
budaya. Dari aspek personal hingga kolektif ada maknanya. Misalnya saja
soal pakaian. Bagi masyarakat Jawa umumnya, dan Jogja khususunya,
pakaian bukan semata soal penutup badan. Bukan hanya soal bagus. Bukan
semata soal fashion, tapi pakaian juga punya makna filosofis. Seperti kata pepatah itu, "Aji Ning Rogo Soko Busono lan Aji Ning Ati Soko Lathi.”Nah, yang menarik. Urusan filosofis ini ternyata juga ada dalam tata ruang.
Saya kutip dari berbagai sumber, bahwa ada makna filosofis kraton yang
berdiri di tengah-tengah bentangan dua sungai melambangkan sifat
normatif seorang manusia. Ditarik dari panggung Krapyak di sebelah
selatan hingga sampai Tugu di sebelah utara Keraton punya makna yang
menggambarkan perjalanan hidup manusia.
Krapyak adalah gambaran
tempat asal roh-roh. Di sebelah utaranya terletak kampung Mijen, berasal
dari kata wiji (benih), jalan lurus ke utara, di kanan kini dihiasi
pohon Asem dan Tanjung, menggambarkan kehidupan sang anak yang lurus,
bebas dari rasa sedih dan cemas, wajahnya nengsemaken serta di
sanjung-sanjung selalu.
Plengkung Nirbaya (Gading). Plengkung ini
menggambarkan periode sang anak menginjak dari masa kanak-kanak ke masa
pra puber. Dimana sifatnya masih nengsemaken (pohon Asem) dan juga suka
menghias diri (nata sinom).
Alun-alun selatan. Disini terdapat 2
pohon beringin yang disebut Wok. Disekitar alun-alun ini terdapat 5
buah jalan yang bersatu sama lain menunjukkan panca indera, tanah
berpasir artinya belum teratur, lepas satu sama lain. Apa yang ditangkap
belum tersatur oleh panca indera. Keliling alun-alun ditanami pohon
Kweni dan pakel artinya sang anak sudah wani (berani karena sudah akil
balig)
Siti hinggil, arti arfiah tanah yang ditinggikan. Disini
terdapat sebuah tratag atau tempat istirahat beratap anyaman bambu kanan
kirinya tumbuh pohon Gayam dengan daun-daunnya yang rindang serta
bunga-bunganya harum wangi. Siapa saja yang berteduh dibawah tratag ini
akan merasa aman, tenteram senang dan bahagia. Menggambarkan rasa laki2
dan perempuan yang sedang dirindu asmara.
Halaman kemandungan, menggambarkan benih dalam kandungan sang ibu.
Regol Gadung Mlati sampai kemagangan merupakan jalan yang sempit
kemudian melebar dan tersang benderang. Suatu gambaran Anatomis
kelahiran sang bayi. Disini bayi kemudian magang (kemagangan) menjadi
calon manusia dalam arti sesungguhnya.
Bangsal Manguntur Tangkil,
sebuah bangsal kecil yang terletak di tratag Sitihinggil. Jadi sebuah
bangsal di dalam bangsal yang mempunyai arti bahwa didalam tubuh kita
(wadag) terdapat roh/ jiwa. Manguntur Tangkil berarti tempat yang tinggi
untuk anangkil, yaitu menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa dengan
mengheningkan cipta atau bersemedi.
Tarub Hagung, merupakan
bangunan yang mempunyai 4 tiang tinggi dari pilar besi yang mempunyai
bentuk empat persegi. Arti bangunan ini ialah: siapa yang gemar samadi,
sujud kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, berada selalu dalam keagungan
Pagelaran, yang bersasal dari kata pagel =Pagol = Pager = batas dan
aran=nama. Dimana habislah perbedaan manusia, baik laki-laki atau
perempuan , terutama dihadapan Tuhan.
Alun-alun utara (lor)
menggambarkan suasanan “nglangut” atau sepi, suasana hati dalam semedi.
Pohon beringin ditengah alun2 menggambarkan suasana seakan2 kita
terpisah dari diri kita sendiri. Mikrokosmos bersatu dalam Makrokosmos.
Simpang empat disebelah utara (km 0 Jogja) menunjukkan godaan dalam samadi. Apaka
kita memilih jalan lurus (Siratal Mustaqim) atau jalan menyimpang ke
kanan-kiri.
Pasar Beringharjo, pusat godaan setelah kita
mengambil jalan lurus berupa godaan akan wanita cantik, makanan yang
lezat serta barang-barang mewah.
Kepatihan, lambang godaan akan kedudukan atau kepangkatan
Sampailah kita pada Tugu/pal putih, simbol dari bersatunya hamba dan Tuhan. Dekat dengan Tuhan Sang Maha Pencipta.
Sebenarnya masih banyak yang bisa digali. Tata ruang penuh filosofi
tak berhenti pada keraton semata, namun juga pada pola ruang
kampung-kampung prajurit Kraton dan tata ruang dalam kawasan Jeron
Beteng. Ada juga filosofi bangunan rumah joglo, pohon-pohon yang
ditanam pada jalur tertentu, atau bangunan lainnya. Mungkin di lain
kesempatan kita bisa membahasnya lebih lanjut.
Nah, melalui
perda keistimewaan pemerintah harus merevitalisasi kembali tata kota
Jogja. Yang tak hanya harus menghidupkan kembali warisasn sejarah, tapi
juga mesti mengembalikan karakter khasnya sebagai kota budaya yang
nyaman.
Jogja; kota ini penuh makna. Jalan-jalannya, pohon-pohon yang tumbuh, bangunan-bangunannya, dan budayanya.
Jogja adalah kota penuh makna, karena itu ia istimewa. Maka sudah
selayaknya kita menjaga dan merevitalisasi kembali nilai-nilai itu.
Pembangunan yang berbasis pada nilai budaya. Dengan perda istimewa, hal
itu sangat mungkin diwujudkan.
Penulis : Zuhrif Hudaya
Sumber : Share Facebook
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus