nDalem mrupakan rumah para bangswan/ golongan darah biru di lingkungan keraton jogja.Berikut nDalem yang Berada di Kraton Yogyakarta :
1. Ndalem Joyokusuman di Jalan Rotowijayan |
Dalem Joyokusuman dibangun pada tahun 1916, ketika masa pemerintahan
Sultan Hamengku Buwono VII. Dalem ini didiami oleh Raden Wedono
Condrokusumo, sepupu Sultan Hamengku Buwono VII, oleh karena itu pada
awalnya dalem ini diberi nama Dalem Condrokusuman. Setelah Raden Wedono
wafat, dalem ini ditempati oleh salah satu adik Sultan Hamengku Buwono
IX, yaitu GBPH Bintoro, seorang ajudan Sultan. Setelah GBPH Bintoro
meninggal, dalem ini ditempati oleh GBPH Joyokusumo, adik bungsu Sri
Sultan Hamengku Buwono X semenjak tahun 1988 sampai sekarang dan
kemudian disebut sebagai Dalem Joyokusuman. Saat ini selain berfungsi
sebagai rumah tinggal, nDalem ini digunakan juga sebagai tempat
kunjungan wisatawan, yaitu dengan menyediakan jamuan makan siang dan
malam dengan menu masakan Sultan. Berbagai kegiatan tradisional juga
dapat dilihat di dalem ini seperti proses pembuatan batik tulis, dan
latihan gamelan. Selain itu, nDalem ini seringkali juga digunakan
sebagai tempat pameran.
2. Ndalem Kaneman di Jalan Kadipaten |
Dalem – sebutan untuk rumah pangeran – ini dibangun pada tahun 1855
pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V dan digunakan
pertama kali oleh KRT Suronegoro hingga meninggalnya pada tahun 1911.
Dalem ini sekarang bernama Dalem Kaneman sesuai nama pemiliknya
sekarang yaitu GKR Anom Adi Brata, putri pertama Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dan KRAy Pintokopurnomo. Selain untuk rumah tinggal, dalem
ini sering digunakan untuk berbagai kegiatan antara lain kursus menari
yang dikelola oleh Yayasan Among Beksa. Dalem ini juga sering digunakan
untuk menjamu makan malam bagi para wisatawan asing sekaligus sajian
pagelaran tari.
Dalem yang menghadap ke selatan ini memiliki pendapa yang cukup luas
di bagian depan dengan seperangkat gamelan lengkap. Sebagian pendapa
disekat dan digunakan sebagai ruang persiapan penari. Setelah pendapa,
terdapat pringgitan yang seperti lazimnya pada rumah-rumah tradisional
Jawa digunakan untuk pertunjukan wayang kulit (Pringgitan berasal dari
kata ringgit = wayang). Berhubungan langsung dengan pringgitan adalah
rumah induk atau ruang tengah dan tiga senthong (kamar) – senthong
kiwa/kiri, senthong tengah, dan senthong tengen/kanan. Di sebelah timur
ruang tengah terdapat ruangan yang sekarang difungsikan sebagai museum
keluarga yang memuat berbagai benda-benda keluarga termasuk foto-foto
keluarga.
Di kompleks Dalem kaneman – yaitu di kanan dan kiri rumah induk dan
pendapa – tinggal para ahli waris dari para abdi dalem yang magersari
(diberi hak untuk tinggal oleh pemilik dalem). Seluruh warga magersari
tergabung dalam dua buah RT (Rukun Tetangga).
3. Ndalem Benawan di Jalan Rotowijayan |
Disebut ndalem Benawan karena dulunya menjadi tempat tinggal GBPH
Benowo, putra ke-36 Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dari garwa BRAy.
Retnohadiningrum. Ndalem ini terletak di jalan Rotowijayan tepatnya di
sebelah barat ndalem Joyokusuman, sebelah utara jalan. Secara
administratif, ndalem ini berada di wilayah Kelurahan Kadipaten. Sampai
sekarang ndalem ini masih menjadi rumah tinggal ahli waris/keturunan
GBPH Benowo, dan di sekitarnya masih ada rumah-rumah abdi ndalem yang
magersari.
4. Ndalem Mangkubumen di Jalan Kadipaten |
Dibangun pada tahun 1865 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VI, Dalem
Mangkubumen didirikan sebagai tempat tinggal putra mahkota atau
Pangeran Adipati Anom. Setelah putra mahkota naik tahta dalem ini
ditempati oleh adik kandungnya GPH Mangkubumi sehingga kemudian lebih
dikenal dengan nama Dalem Mangkubumen. Setelah GPH Mangkubumi wafat,
adiknya yaitu GPH Buminoto menggantikannya menempati Dalem Mangkubumen
sampai tahun 1928. Kediaman tersebut juga pernah dijadikan tempat
tinggal sementara oleh Jenderal Sudirman pada Agresi Militer II
Belanda. Mulai tahun 1983 sampai sekarang Dalem Mangkubumen digunakan
sebagai kampus Universitas Widya Mataram dan SMA Mataram.
Dalem Mangkubumen beratap dalam bentuk joglo (pendapa) dan limasan
(rumah induk/dalem). Dalem ini berbentuk bujur sangkar dengan susunan
ruangan yang terdiri dari ruang pertemuan/pendapa, ruang pentas wayang,
dan ruang keluarga. Pendapa menggunakan blandar bersusun yang disebut
blandar tumpang sari, semakin keatas semakin melebar, dan memiliki
empat tiang pokok di tengah (saka guru). Konstruksi saka guru ini
disebut sunduk kili, berfungsi sebagai pengikat bangunan supaya tidak
berubah bentuk posisinya.
5. Ndalem Pakuningratan di Jalan Polowijan |
Dalem Pakuningratan dibangun pada tahun 1877-1921 secara bertahap
pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII untuk menjadi
kediaman Pangeran Purboyo atau putra mahkota yang kemudian diangkat
menjadi Sultan Hamengku Buwono VIII. Selama ini bangunan Dalem
Pakuningratan telah mengalami 3 kali pemugaran. Pertama, tahun 1926
atas perintah Sultan Hamengku Buwono VII bangunan pendapa dihubungkan
dengan pringgitan. Kedua, pada tahun 1928 dibangun bangunan teras
belakang yang disebut cekokan. Sedangkan pada tahun 1939 semua lantai
plesteran diganti dengan lantai ubin ukuran 20 x 20 cm bermotif warna
kuning dan hijau serta cat pintu yang semula berwarna abu-abu diganti
dengan warna hijau.
Saat ini bagian pendapa Dalem Pakuningratan digunakan sebagai ruang
kuliah ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film), institusi pendidikan yang
melahirkan sutradara besar Teguh Karya dan Slamet Raharjo.
6. Ndalem Suryaputran di Jalan Suryaputran |
Pada masa Hamengku Buwono VI, Dalem Suryaputran merupakan tempat
tinggal GPH Suryaputra. Beliau adalah putra Sultan Hamengku Buwono VI
dari permaisuri. Kediaman tersebut sering kali digunakan sebagai tempat
latihan kesenian Jawa. Setelah GPH Suryaputra wafat, selanjutnya oleh
Sultan Hamengku Buwono VII dalem ini diberikan kepada putranya GPH
Hadikusuma sehingga kemudian bangunan tersebut lebih dikenal dengan
nama Dalem Ngadikusuman. Pada masa pendudukan Jepang, Dalem
Ngadikusuman seringkali digunakan sebagai tempat berbagai macam
kegiatan pemuda, misalnya olahraga dan kesenian. Kemudian pada tanggal
28 Juli 1952, Dalem Suryaputran dibeli oleh Dinas Pengawas Keselamatan
Negara, yang selanjutnya dipakai sebagai tempat asrama polisi sampai
sekarang.
7. Ndalem Wironegaran di Jalan Suryomentaraman |
Dalem ini dibangun sekitar abad ke-18. Awalnya dalem ini ditinggali
oleh GBPH Suryomentaraman (putra ke-55 dari Sultan Hamengku Buwono
VII), kemudian ditempati oleh BRAy. Condrodiningrat (Putri ke-15 dari
Sultan Hamengku Buwono VIII), sehingga pernah dikenal dengan nama Dalem
Condrodiningratan. Sekarang Dalem ini ditempati oleh GKR Pembayun
(Putri sulung Sri Sultan Hamengku Buwono X) dan suaminya, KPH
Wironegara, sehingga disebut Dalem Wironegaran.
8. Ndalem Yudonegaran di Jalan Ibu Ruswo |
Ndalem yang dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII
(1877-1921) ini pada awalnya ditempati oleh GKR Dewi, Putri ke-38 HB
VII dari permaisurinya GKR Kencono. Sekarang ini ndalem tersebut
ditempati oleh GBPH Yudoningrat, Putri ke-13 HB IX dari KRAy
Hastungkoro. Ndalem ini pernah dimanfaatkan sebagai Fakultas Sastra UGM
sampai tahun 1960-an, sebelum akhirnya pindah ke kawasan Bulak Sumur.
Di kompleks ndalem ini terdapat 35 rumah ‘ngindung’ dan beberapa unit
bangunan yang dalam perkembangannya digunakan untuk Sekolah Menengah
Farmasi dan Sekolah Apoteker (juga sejak tahun 1960-an). Kemudian,
menginjak tahun 1987, Sekretariat PORDASI atau Perkumpulan Olahraga
Berkuda Seluruh Indonesia berkedudukan di sini. Selain itu, ndalem ini
seringkali dipergunakan untuk tempat resepsi pernikahan ataupun
acara-acara khusus lainnya. Dan pada bagian pendapanya terdapat delapan
kereta kuda yang siap disewa.
9. Ndalem Condrokiranan di Jalan Wijilan |
Sebelum bernama ndalem Condrokiranan, ndalem ini sempat dinamai
ndalem Wijilan. Semula ndalem ini ditinggali oleh Adipati Kanjeng Gusti
Pangeran Aryo Mataram yang kemudian diangkat menjadi Sri Sultan
Hamengku Buwono III. Menggantikan beliau, ndalem menjadi milik Gusti
Pangeran Wijil yang kemudian diteruskan oleh putranya yang bernama KRT
Wijil, sehingga ndalem ini dikenal sebagai Ndalem Wijilan. Selanjutnya
ndalem diberikan kepada BPH Joyowinoto sebelum kemudian dijual kepada
pemilik terakhir, GKR Condrokirono, istri KPH Danurejo VIII, Patih
Yogyakarta terakhir. Karenanya hingga kini, ndalem ini dikenal dengan
sebutan Ndalem Condrokiranan. Sekarang ini, Ndalem Condrokiranan atas
seijin pemiliknya digunakan sebagai Museum Sonobudoyo unit II, untuk
menampung koleksi Museum Sonobudoyo I yang kian banyak. Koleksi museum
yang dapat ditemui di ndalem ini diantaranya tandu Pakualaman dan
gamelan, juga hasil kerajinan, serta hasil pertanian dan perkebunan
dari tiap kabupaten di DIY.
Sebetulnya, seperti juga ndalem-ndalem lainnya, ndalem Condrokiranan
merupakan rumah tradisional Jawa lengkap dengan pendapa, pringgitan dan
gandok di kanan kirinya. Pada perkembangannya, ndalem ini mengalami
beberapa perubahan mengikuti gaya Eropa lama dan baru. Meskipun begitu,
bangunan aslinya masih dapat dikenali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar