Terpopuler

Kamis, 19 Juli 2018

FILOSOFI JENGKAR DALEM DI KRATON JOGJA



  Halaman Kamandungan Lor

Jengkar Dalem artinya pulang ke kraton, menggambarkan pulangnya kita semua kealam baka. Setelah meninggalkan Siti Hinggil, sampailah Sri Sultan di Kamandungan Lor. disitu dilihatnya pohon-pohon keben. Ini mengandung arti "Tangkeben" (tutuplah) mata saudara, telingga saudara, rasa saudara, sebab saudara sebentar lagi akan menginjak zaman sakaratul maut.

                                                                      

                                                                          Pohon Keben

                                                                                                                         Regol Srimanganti
Kemudian masuk regol Sri Manganti, dahulu Sri Sultan berkenan duduk sebentar di Bangsal Sri Manganti , dijemput oleh permaisuri serta putra putra Sri Sultan. Ini menggambarkan waktu kita telah menginjak dialam barzah. Kemudian datanglah dua orang bupati Nayaka kepadanya untuk mohon perintah Sri Sultan atau untuk menghaturkan minuman kepadanya. Ini menggambarkan datangnya dua malaikat yang memberi pelajaran-pelajaran atau petunjuk-petunjuk agama Islam berdasarkan kitab Al-Quran di alam Barzah.

                                                                                                           Bangsal Srimanganti

                                                                                                               Bangsal Traju Mas


                                                                                                       
Di halaman Sri Manganti ada sebuah bangsal lagi, disebut Bangsal Traju Mas. Ini mengandung arti supaya pandailah kita menimbang-nimbang mana yang betul, mana yang salah , jangan sampai ingat lagi pada  keduniawian , istri, anak-anak yang ditinggalkan.

Disebelah selatan, Sri Sultan melihat sebuah gedung tinggi, besar yaitu gedung purwaretna, ini mempunyai arti : Kita harus selalu ingat kepada asal mulai kita.

Gedung tinggi disebelah kanan adalah gedong purwaretna. diatas regol ada sebuah bulatan atau dengku mengeliling jagad atau bawana, mengelilingi dalam bahasa jawanya. hamengku, keduanya dapat dibaca hamengku buwana, nama sri sultan. dua ekor binatang dibawahnya namanya slira. Slira adalah delapan. semua berarti : Hamengku Buwana VIII

Purwa = pertama= asala
Retna = intan = cahaya

Gedong purwaretna ini bertingkat tiga, gambaran dari baitul makmur, baitul mucharan dan baitul muchaddas. Jendela ada empat mengambarkan 4 kiblat atau 4 tingkat ketauhidan yaitu syariat, tharikat, chakekat dan marifat.
                                                                                                                   Regol Danapratapa
 
Kemudian Sri Sultan melihat regol Danapratapa. Kanan kiri ditanami pohon jambu dersono. Dersono berarti baik, utama. regol Danapratapa memberi nasehat kepada kita : sebaik-bainya manusia ia yang dapat membedakan anatara baik dan jahat.

Setelah melalui regol Danapratapa, Sri Sultan sampai di plataran kedaton dan naik diBangsal Kencana. Perkataan "Kencana" itu mengandung sifat-sifat, anasir-anasir yang bercahaya, bangsal Kencana adalah gambaran bersatunya kawula gusti. maka dari itu condrosengkolo berdirinya bangsal kencana itu berbunyi " Trus Satunggal Panditaning Rat atau tahun 1719.


                                                                                                            Gedong Purwaretna
Kemudian Sri Sultan masuk ke Gedong Prabayeksa. didalam gedong ini ada sebuah lampu yang tak pernah padam, bernama Kyai Wiji. Praba artinya cahaya, Yeksa berarti besar, jadi cahaya yang besar/terang. semua diatas itu mengandung arti: menurut kepercayaan, perjalanan  roh di jaman akhirat itu mengikuti jalannya cahaya sampai disebuah tempat yang tetap yang terang dan langgeng.
                                                                                                              Gedong Prabayeksa
Sebelah kanan Gedong Prabayeksa berdirilah sebuah bangunan bercat kuning. Gedong Kuning namanya. Gedong ini ialah gambaran tempat roh-roh yang telah hening, bening, murni yaitu surga langgeng.
                                                                                                                       Gedong Kuning
Kuning adalah warna segala sesuatu yang bersifat ketuhanan. semua diatas ini hanyalah gambaran-gambaran saja, suatu nasehat dari orang tua kepada turun turunannya secara visual edukatif. Nyatanya, terserah kepada Tuhan Maha Tahu.

                                                                                                            Denah Kraton Jogja


Sumber :
Buku " Arti Kraton Yogyakarta" oleh KPH Brongtodiningrat diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia oleh R. Murdani Hadiatmaja.Tahun 1978

Sumber gambar :
https://destinasiwisatadomestik.blogspot.com/2016/05/kompleks-keraton-jogjakarta.html 
https://nglarastenan.wordpress.com/2013/07/25/ 
http://tugujogjaexpress.blogspot.com/2011/04/pohon-keben-dan-filosofi-vegetasi.html 
http://wikimapia.org/13595273/Regol-Srimanganti 
http://yogyakarta.panduanwisata.id/wisata-sejarah-2/keraton-kasultanan-yogyakarta-warisan-kerajaan-mataram-islam-di-yogyakarta/
https://prezi.com/l30j5jnx373v/der-kraton-in-yogyakarta/
http://keraton.perpusnas.go.id/node/251 
https://insta.orenya.com/tag/palaceofyogyakarta 
http://kratonwedding.com/wp-content/uploads/2013/10/ 
https://www.youtube.com/watch?v=6hqazsioG8M

Jumat, 11 Mei 2018

Letak Grografis Kraton Jogja Dalam Sebuah Pantun Mijil



Sebuah Pantun Mijil menggambarkan letak geografis kraton secara populer seperti dibawah ini :

Kali Nagga Pancingkok ing Puri
Gunung Gamping Kulon,
Hardi Mrapi ler Wetan Prenahe,
Candi Jonggrang Mangungkang ing Kali
Palered Magiri
Girilaya Kidul

Artinya :
Sungai Winanga membelok (kekanan) waktu mendekati Kraton (puri), Gunung Gamping terletak disebelah barat, sedangkan Gunung Merapi letaknya disebelah timur laut.
Candi Jonggrang dibangun dekat pinggir kali (opak), Pleret (ibu negeri Mataram dulu). Magiri (tempat makam raja-raja mataram) dan Girilaya (Gunung Kidul) terletak disebelah selatan (kraton).

Sumber :
Buku " Arti Kraton Yogyakarta" oleh KPH Brongtodiningrat diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia oleh R. Murdani Hadiatmaja.Tahun 1978

Minggu, 30 April 2017

Filosofi Baju Peranakan khas Kraton Ngayogyakarta


                                              Abdi dalem mengunkan baju peranakan

Mereport dari tulisan mas @salimafillah

PERANAKAN

                                                                   Baju Peranakan
 
Selain surjan, dari kata Arab "siraajan", yang berarti menjadi pelita, jenis lain busana gaya Mataraman Yogyakarta ada yang disebut "Peranakan".
                                                                     Surjan Kusuma
 
Surjan adalah pakaian taqwa yang berciri ujung lancip sebagai simbol permohonan bimbingan selalu menuju sirathal mustaqim; memiliki 3 pasang kancing kerah tinggi yang melambangkan 6 rukun iman, sebab Dia lebih dekat dari urat leher insan; punya 2 kancing di dada yang berarti syahadatain; serta 3 kancing terutup di ulu hati sebagai penanda disumbatnya 3 hawa nafsu; ammarah, lawwamah, dan syaithaniyah. Selain surjan kusuma bermotif bunga yang sering dikenakan Sultan, surjan lurik biasanya bergaris tiga; perlambang lurusnya hati, lisan, dan perbuatan.

                                                                        Surjan Lurik
 
Adapun Ageman Peranakan terbuat dari kain lurik tenun pengkol dengan warna dasar biru tua mendekati hitam, yang bermakna kedalaman batin bagai lautan, mampu menyimpan berbagai rasa hati demi menjaga harmoni dan kenyamanan sesama, serta hanya mengadukan segala beban jiwa kepada Allah Yang Maha Kuasa. Tenunnya bergaris biru muda telu (3) dan biru tua papat (4), disingkat "telupat" yang bermakna Kewulu Minangka Prepat dalam arti "direngkuh untuk menjadi saudara kandung yang mesra dan saling memahami."
Ujung bawah Ageman Pranakan ini papak rata melambangkan kesetaraan dan kebersamaan. Kancing lehernya 3 pasang sebagaimana surjan, melambangkan rukun iman, sementara kancing di lengan panjangnya berjumlah 5, penanda rukun Islam yang harus diamalkan dengan segerak anggota badan.
Cara memakai busana pranakan ini khas, yakni dengan mengangkat kedua tangan lurus ke atas, dimasukkan ke lengan baju, lalu menyusul kepala dan seluruh badan. Ini karena "peranakan" makna asalnya adalah "rahim", tempat di mana janin ditumbuhkan Allah menjadi anak. Maka memakai busana peranakan adalah menghayati diri sebagai seorang putra, memasuki perlindungan rahim yang kokoh, mengambil semangat berbakti kepada Ibu; ibu kandung, ibu susu, ibu guru, dan ibu pertiwi.

Penulis : Salim A Fillah
Share dari facebook

 

Filosofi Bebetan Kain Jarik



Pada kesempatan kali ini akan membahas tentang filosofi bebetan kain jarik yang pernah di tulis oleh ust @salimafillah. Jadi kali ini ceritanya merepost karena tertarik untuk diulas dan di buat file di blog ini.

BEBET: Membebat SYAHWAT
 
                                                                  Bebetan kain jarik

Melanjutkan perbincangan tentang Busana Taqwa setelah uraian tentang Surjan dan Peranakan, inilah kain yang kita kenakan sebagai bawahan. Salah satu sebutannya "bebet", dibaca pepet seperti "e" pada "baper", jadi memakainya disebut "bebetan".

Di antara maknanya ialah bahwa perut dan bawah perut adalah markas syahwat yang harus dibebeti, dibebat, dikendalikan agar tak liar. Kain ini di-wiru, dilipat rapi pada bagian ujungnya yakni sebagai pengingat terjaganya sifat wara'/wira'i. Ialah menjaga diri dari segala yang dimurkai Allah, juga hal yang samar meragukan, bahkan dari hal mubah yang berlebihan. Pada pria, ukuran wirunya 3 jari, sementara pada kain dodot untuk perempuan adalah separuhnya. Yang kami kenakan ini adalah wiru engkol, selain wiru lurus yang biasa dikenakan Sultan, penanda lebih dituntutnya sifat istiqamah bagi pemimpin.

Bebet adalah perwujudan firman Allah;

"Adapun orang yang takut pada keagungan Rabbnya dan mencegah diri dari hawa nafsunya, surgalah tempat tinggalnya." (QS An Naazi'aat 40-41).

Motif kain bebet biasanya disesuaikan kesempatan memakainya. Jika raja-raja dikhususkan memakai Parang Rusak Barong rancangan Sultan Agung, berpola lereng menanjak dan berbentuk seperti ombak, sebagai pengingat bahwa hidup penuh ujian yang tiada henti, dan setiap saat kita harus mampu memaknai sehingga iman terus dinaikkan, dikuatkan, mendaki menuju keridhaan Allah.
 

Motif batik Wahyu Tumurun  Yogyakarta

Maknya motif batik Wahyu Tumurun, artinya Nuzulul Quran, yang dulu amat disukai Sultan Hamengkubuwana I untuk beri'tikaf menyambut Lailatul Qadr.

Unsur-unsurnya adalah: -Redi (gunung bercahaya dengan gua di tengahnya; Jabal Nur & Gua Hira', tempat wahyu pertama turun)

-Elar (sayap malaikat)

-Sawung (ayam jago)
(tanazzalul malaaikatu warruuhu fiiha biidzni Rabbihim min kulli amrin, salaamun hiya hatta mathla'il fajr, QS Al Qadr)

-Ketopong (mahkota terbang), karena penghafal Quran dipakaikan mahkota yang bersinar melebihi cahaya mentari.

-Lung-lungan (cabang-cabang tumbuhan), sebab yang ashluha tsabit maka far'uha fissamaa' (QS Ibrahim 24).

-Kusuma (bunga) & buah Sawo Kecik (sarwo becik, serba baik); sebab akhlaq pembaca Quran harus harum mewangi & manis rasanya. (QS Ibrahim 25)

-Isen-isen Keras (susunan batuan granit di pegunungan), sebagai pengingat bahwa gunungpun akan hancur karena takut pada Allah jika Al Quran diturunkan padanya (QS Al Hasyr 21). Dan jangan sampai hati kita mengeras bagai batu; padahal di antara batupun ada yang di selanya mengalir sungai, ada yang terbelah kemudian memancarkan air, & ada yang meluncur jatuh karena takut pada Allah. (QS Al Baqarah 74)


Nah, pasangan ikat pinggang untuk menguatkan bebatan kain ini disebut kamus dan timang. Sebab taqwa harus diikat dengan ilmu. Ilmu yang pertama diajarkan pada Adam adalah bahasa, isim-isim, kosakata, (Wa 'allama Adamal asma-a kullaha) maka kamus jadi sebutan ikatan dalamnya. Adapun ikatan luar disebut timang, sebab ilmu wajib dituntut dari timangan, dari buaian hingga liang lahat.
 
Penulis : Salim A. Fillah
Share dari facebook
 
                                                             Cara Mewiru kain jarik
 
                                                           Kain jarik yang sudah di wiru
 
 

Perbedaan Sanggul Ngayogyakarta & Sanggul Surakarta



Sanggul  adalah rambut tambahan yang diberi dasar berbentuk bulat seperti tatakan gelas agak kecil, yang dibuat dari kain gaas, kadang-kadang berbentuk oval atau bulat kecil. Rambut tambahan(palsu) tersebut bisa dibentuk bermacam-macam sanggul yang dikenal oleh semua ibu-ibu sebagai sanggul tempel. 

Perbedaan sanggul Ngayogyakarta dan sanggul Surakarta adalah model bentuknya. kalau istilahnya sanggul Ngayogyakarta disebut sanggul gelung tekuk sedangkan Sanggul Surakarta disebut sanggul konde. 2 kerajaan pecahan kerajaan mataram ini juga berbeda dalam hal sanggul untuk para wanita.

Untuk pemasangan tusuk konde pun juga berbeda. untuk sanggul surakarta biasanya tusuk konde berada di 1 tengah dan 2 disamping sedangkan sanggul ngayogyakarta tusuk konde berada di 1 tengah 

 
                                                      Sanggul Konde Gaya Surakarta


                                               Sanggul Gulung Tekuk Gaya Ngayogyakarta


Referensi :
https://web.facebook.com/DPIdaMU/photos/a.271685497317.145408.271675847317/10152687181247318/?_rdc=1&_rdr

Blangkon Ngayogyakarta Versus Blangkon Surakarta



Pada kesempatan kali ini, akan membahas tentang blangkon  Ngayogyakarta versus Blangkon Surakarta. setelah kerajaan Mataram Islam pecah menjadi dua Kerajaan yaitu Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat ada perbedaan antara blangkon  yang digunakan.

Blangkon adalah tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaiana tradisional. Sebutan Blangkon berasal dari kata blangko, istilah yang dipakai masyarakat Jawa untuk mengatakan sesuatu yang siap pakai. Blangkon sebenarnya bentuk praktis dari iket yang merupakan tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional jawa. Untuk beberapa tipe blangkon ada yang menggunakan tonjolan pada bagian belakang blangkon yang disebut mondholan. Mondholan ini menandakan model rambut pria masa itu yang sering mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon. Lilitan rambut itu harus kencang supaya tidak mudah lepas.
Khusus untuk Yogyakarta, blangkon kejawen dibedakan menjadi gaya utara dan selatan. Sementara dari bentuknya terdiri dari jebehan, cepet, waton, dan kuncungan. Perbedaan inilah yang kemudian melahirkan motif-motif blangkon, seperti adimuncung, tumpangsari, kuncungan, jeplakan, tempen, solomuda, pletrekan, solobangkalan, prebawan, tutup liwet, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk daerah Surakarta muncul beberapa jenis blangkon lagi, yaitu wironan atau mataraman, iket krepyak dan trepes.

Yogyakarta dan Surakarta yang sama-sama sebagai bagian dari Kerajaan Mataram pun memilik bentuk blangkon yang berbeda. Perbedaan mencolok dan yang paling mudah dikenali adalah pada bagian belakang blangkon. Blangkon gaya Yogyakarta memiliki mondholan, sedangkan blangkon Solo tanpa mondholan atau terlihat rata.

Mondholan di Yogyakarta ini muncul, karena ketika itu (masa pemerintahan Panembahan Senopati, seusai runtuhnya Kerajaan Pajang), para lelaki mempunyai kebiasaan memelihara rambut panjang, yang kemudian diikat dan digelung ke belakang. Dari bentuk mondholan ini lahirlah filosofi di mana orang Jawa pandai menyimpan rahasia, tidak suka membuka aib orang lain atau diri sendiri. Dalam berkata-kata dan perilaku, orang Jawa juga penuh dengan kiasan dan bahasa halus, sehingga menjadikan mereka selalu berhati-hati tetapi bukan berarti berbasa-basi, akan tetapi sebagai bukti keluhuran budi pekerti orang Jawa.

“Orang Jawa itu pandai menyimpan rahasia dan menutupi aib. Mereka akan berusaha tersenyum meskipun hatinya menangis. ItuIni bukan sikap munafik, melainkan keinginan untuk selalu berbuat baik untuk orang lain.
Sedangkan untuk blangkon Surakarta yang trepes atau rata pada bagian belakang, karena para lelaki pada masa itu (Pemerintahan Belanda) sudah mengenal potong rambut dan jas (beskap) karena pengaruh Belanda. Model trepes ini merupakan modifikasi dari gaya Yogyakarta yang muncul karena kebanyakan pria sudah mulai berambut pendek. Blangkon trepes dibuat dengan cara menjahit langsung mondholan pada bagian belakang blangkon.

“Tidak ada mondholan pada blangkon Surakarta. Yang hanya pertemuan dua pucuk helai di kanan dan kirinya yang kemudian diikatkan di belakang. Ini simbol menyatukan dua kalimat syahadat yang harus terus melekat dalam pikiran orang Jawa.

Secara umum, penempatan blangkon di kepala secara mengandung anjuran agar segala pemikiran yang dihasilkan dari kepala selalu membawa nilai-nilai keislaman. Sebebas apa pun pemikiran yang ada, agama Islam harus selalu menjadi pijakan.

Blangkon juga sebagai simbol pertemuan antara jagad alit (mikrokosmos) dengan jagad gede (makrokosmos). Blangkon merupakan isyarat jagad gede karena nilai-nilai transendentalnya. Sedangkan kepala yang ditumpanginya merupakan isyarat jagad alit. Ini terkait dengan tugas manusia sebagai khalifatullah fi al-ardi yang membutuhkan kekuatan Tuhan. Karena itu, agar manusia mampu melaksanakan tugasnya dibutuhkan kekuatan Tuhan yang disimbolkan dengan blangkon.

Pada zaman dulu, blangkon hanya boleh dibuat oleh para seniman keraton dengan pakem (aturan) yang baku. Seperti halnya keris dan batik. Semakin blangkon yang dibuat memenuhi pakem, maka blangkon itu akan semakin tinggi nilainya.

Dalam blangkon itu terksimpan nilai-nilai kehidupan sehari-hari seperti keindahan, ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tentang keindahan, kesabaran, dan ketelitian itu,  sebuah blangkon yang bagus bias memiliki 14 hingga 17 wiru (lipatan) yang rapi di kanan-kiri. Tanpa kesabaran dan ketelitian yang besar, sangat mustahil blangkon tersebut bis diselesaikan. Keindahan blangkon juga bias dilihat dari kain batik selebar 105cm x 105cm sebagai bahan dasar blangkon.

Blangkon yang bagus, tentu bahan dasarnya juga harus bagus. Salah satunya kain yang dibatik tulis, bukan batik cap apalagi printing. Jangan heran jika harga satu  blangkon  harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Jika memiliki nilai sejarah, harganya bias lebih mahal lagi. Seperti halnya keris dan batik, semakin indah dan bersejarahnya blangkon akan membuat harganya semakin mahal




Referensi :
https://id.wikipedia.org/wiki/Blangkon 
http://kesolo.com/blangkon-simbol-pertemuan-jagad-cilik-dan-gede/ 


Sabtu, 03 September 2016

Sumbu Filosofi Kraton Yogyakarta


Jogja bukanlah sebuah kota semata, tapi ia adalah kota yang penuh makna. Kita bisa mendapati makna tersembunyi, filosofis, dari berbagai hal di Jogja. Mulai dari baju, pohon yang ditanam di pinggir jalan, bangunan keraton hingga tata ruangnya.

Jogja; adalah kota yang penuh makna.
Makna filosofis yang berlandaskan pada kearifan lokal dan nilai-nilai budaya. Dari aspek personal hingga kolektif ada maknanya. Misalnya saja soal pakaian. Bagi masyarakat Jawa umumnya, dan Jogja khususunya, pakaian bukan semata soal penutup badan. Bukan hanya soal bagus. Bukan semata soal fashion, tapi pakaian juga punya makna filosofis. Seperti kata pepatah itu, "Aji Ning Rogo Soko Busono lan Aji Ning Ati Soko Lathi.”Nah, yang menarik. Urusan filosofis ini ternyata juga ada dalam tata ruang. 

Saya kutip dari berbagai sumber, bahwa ada makna filosofis kraton yang berdiri di tengah-tengah bentangan dua sungai melambangkan sifat normatif seorang manusia. Ditarik dari panggung Krapyak di sebelah selatan hingga sampai Tugu di sebelah utara Keraton punya makna yang menggambarkan perjalanan hidup manusia.

                                                               Panggung Krapyak

Krapyak adalah gambaran tempat asal roh-roh. Di sebelah utaranya terletak kampung Mijen, berasal dari kata wiji (benih), jalan lurus ke utara, di kanan kini dihiasi pohon Asem dan Tanjung, menggambarkan kehidupan sang anak yang lurus, bebas dari rasa sedih dan cemas, wajahnya nengsemaken serta di sanjung-sanjung selalu.

                                                                   Plengkung Nirbaya
 
Plengkung Nirbaya (Gading). Plengkung ini menggambarkan periode sang anak menginjak dari masa kanak-kanak ke masa pra puber. Dimana sifatnya masih nengsemaken (pohon Asem) dan juga suka menghias diri (nata sinom).

                                                                     Alun-alun selatan
 
Alun-alun selatan. Disini terdapat 2 pohon beringin yang disebut Wok. Disekitar alun-alun ini terdapat 5 buah jalan yang bersatu sama lain menunjukkan panca indera, tanah berpasir artinya belum teratur, lepas satu sama lain. Apa yang ditangkap belum tersatur oleh panca indera. Keliling alun-alun ditanami pohon Kweni dan pakel artinya sang anak sudah wani (berani karena sudah akil balig)

                                                                    Siti Hinggil Kidul
 
Siti hinggil, arti arfiah tanah yang ditinggikan. Disini terdapat sebuah tratag atau tempat istirahat beratap anyaman bambu kanan kirinya tumbuh pohon Gayam dengan daun-daunnya yang rindang serta bunga-bunganya harum wangi. Siapa saja yang berteduh dibawah tratag ini akan merasa aman, tenteram senang dan bahagia. Menggambarkan rasa laki2 dan perempuan yang sedang dirindu asmara.
                                                            Bangsal Kamandungan
 
Halaman kemandungan, menggambarkan benih dalam kandungan sang ibu.
                                                              Regol Gadung Mlati

 
                                                                 Bangsal Kamagangan
 
Regol Gadung Mlati sampai kemagangan merupakan jalan yang sempit kemudian melebar dan tersang benderang. Suatu gambaran Anatomis kelahiran sang bayi. Disini bayi kemudian magang (kemagangan) menjadi calon manusia dalam arti sesungguhnya.

                                                               Bangsal Manguntur Tangkil
 
Bangsal Manguntur Tangkil, sebuah bangsal kecil yang terletak di tratag Sitihinggil. Jadi sebuah bangsal di dalam bangsal yang mempunyai arti bahwa didalam tubuh kita (wadag) terdapat roh/ jiwa. Manguntur Tangkil berarti tempat yang tinggi untuk anangkil, yaitu menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa dengan mengheningkan cipta atau bersemedi.
                                                                     Sitihinggil Lor
 
Tarub Hagung, merupakan bangunan yang mempunyai 4 tiang tinggi dari pilar besi yang mempunyai bentuk empat persegi. Arti bangunan ini ialah: siapa yang gemar samadi, sujud kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, berada selalu dalam keagungan
                                                                  Bangsal Pagelaran
 
Pagelaran, yang bersasal dari kata pagel =Pagol = Pager = batas dan aran=nama. Dimana habislah perbedaan manusia, baik laki-laki atau perempuan , terutama dihadapan Tuhan.

                                                                     Alun-alun Utara

Alun-alun utara (lor) menggambarkan suasanan “nglangut” atau sepi, suasana hati dalam semedi. Pohon beringin ditengah alun2 menggambarkan suasana seakan2 kita terpisah dari diri kita sendiri. Mikrokosmos bersatu dalam Makrokosmos. 
                                                                          Km 0 Jogja
 
Simpang empat disebelah utara (km 0 Jogja) menunjukkan godaan dalam samadi. Apaka kita memilih jalan lurus (Siratal Mustaqim) atau jalan menyimpang ke kanan-kiri.
                                                                    Pasar Beringharjo
 
Pasar Beringharjo, pusat godaan setelah kita mengambil jalan lurus berupa godaan akan wanita cantik, makanan yang lezat serta barang-barang mewah.
                                                                         Kepatihan
 
Kepatihan, lambang godaan akan kedudukan atau kepangkatan
                                                                      Tugu Pal Putih
 
Sampailah kita pada Tugu/pal putih, simbol dari bersatunya hamba dan Tuhan. Dekat dengan Tuhan Sang Maha Pencipta.

Sebenarnya masih banyak yang bisa digali. Tata ruang penuh filosofi tak berhenti pada keraton semata, namun juga pada pola ruang kampung-kampung prajurit Kraton dan tata ruang dalam kawasan Jeron Beteng. Ada juga filosofi bangunan rumah joglo, pohon-pohon yang ditanam pada jalur tertentu, atau bangunan lainnya. Mungkin di lain kesempatan kita bisa membahasnya lebih lanjut.

Nah, melalui perda keistimewaan pemerintah harus merevitalisasi kembali tata kota Jogja. Yang tak hanya harus menghidupkan kembali warisasn sejarah, tapi juga mesti mengembalikan karakter khasnya sebagai kota budaya yang nyaman.

Jogja; kota ini penuh makna. Jalan-jalannya, pohon-pohon yang tumbuh, bangunan-bangunannya, dan budayanya.

Jogja adalah kota penuh makna, karena itu ia istimewa. Maka sudah selayaknya kita menjaga dan merevitalisasi kembali nilai-nilai itu. Pembangunan yang berbasis pada nilai budaya. Dengan perda istimewa, hal itu sangat mungkin diwujudkan.


Penulis : Zuhrif Hudaya
Sumber : Share Facebook